Sebutan itu kerap dialamatkan ke bangsa kita yang identik dengan ketertinggalan dan kebodohan. Mental yang lembek juga sering dikonotasikan dengan mental tempe. Padahal, tempe yang berbahan baku utama kedelai ini memiliki banyak manfaat. Menurut Prof. Dr. Dr. Achmad Biben, seperti dikutip harian Pikiran Rakyat, tempe mengandung superoksida desmutase yang dapat menghambat kerusakan sel dan proses penuaan. Dalam sepotong tempe terkandung berbagai unsur yang bermanfaat, seperti hidrat arang, lemak, protein, serat, vitamin, enzim, daidzein, genistein serta komponen anti-bakteri. Selain itu, tempe juga bisa bersifat sebagai antianemia, menurunkan kadar kolesterol serta menurunkan risiko penyakit jantung koroner. Manfaat lain dari tempe adalah dapat mengurangi keluhan pada wanita yang memasuki usia menopause (berhenti haid) karena adanya zat yang berikatan dengan reseptor hormon estrogen.
Kedelai sebagai bahan baku tempe ternyata mengandung zat yang mampu meningkatkan vitalitas dan meremajakan sel tubuh, terkenal dengan nama lesitin. Lesitin ini menjadi terkenal setelah Dr. Edward memuat hasil penelitiannya tentang manfaat lesitin dalam jurnal "Biocontrol News and In formation, Discover & Science News."
Dari segi produksi, menurut Prof.Dr.Ir Made Astawan, Indonesia adalah negara produsen tempe terbesar di dunia dan pasar kedelai terbesar di Asia. Lima puluh persen dari konsumsi kedelai Indonesia berbentuk tempe, sisanya dalam bentuk produk "kakak adik dan sepupu-sepupu" tempe, seperti tahu, tauco, kecap dan lain-lain. Tempe sendiri sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama untuk masyarakat Jawa, konon, rujukan pertama tentang tempe ditemukan pada tahun 1875, bahkan disebut-sebut dalam Serat Centini dan buku History of Java karangan Stanford Raffles. Ironisnya, konon tempe telah dipatenkan Jepang.
Ngomong soal tempe, belakangan ini pengusaha makanan rakyat itu (dan juga tahu) kelimpungan karena harga kedelai melonjak gila-gilaan. Jika biasanya kedelai harganya hanya sekitar Rp 4.000, kini meroket mencapai Rp 7.000. Akibatnya, perajin tempe dan tahu pun banyak yang gulung tikar. Tak kurang, mereka sempat pula menggelar demo, menyikapi mahalnya harga kedelai.
Gonjang-ganjing kedelai ini tak urung membuat pimpinan negara kelabakan. Metrotvnews.com melaporkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan kepada jajarannya untuk menjaga keseimbangan antara produksi dan konsumsi kedelai. Instruksi tersebut disampaikan setelah sidang kabinet terbatas di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (15/1) siang.
Presiden Yudoyono berjanji, pemerintah akan terus mengembangkan paket kebijakan khusus untuk kedelai. Bila perlu, Indonesia dapat mengimpor dari negara lain selain Amerika Serikat yang harga kedelainya semakin mahal. Untuk tahap pertama, pemerintah akan menurunkan bea masuk kedelai hingga nol persen agar dapat mendorong stabilitas harga kedelai di dalam negeri.
Untuk solusi jangka menengah dan panjang, pemerintah akan mendorong petani untuk menanam kedelai. Saat ini yang membuat petani enggan menanam kedelai adalah karena harganya tidak sekompetitif jagung. Presiden Yudhoyono menyatakan, saat ini jajaran Departemen Pertanian tengah merumuskan kebijakan jangka menengah dan panjang dengan mencari lokasi di daerah subtopis dan sistem yang tepat untuk bertanam kedelai. Diharapkan, Indonesia dapat memenuhi sendiri kebutuhan dua juta ton kedelai per tahun. (dari berbagai sumber)
Read More......